Tanpa Kata Pamit
Dua bulan lebih aku mencoba menutup
diri dengan hobby baruku “menulis”. Aku bukanlah penulis terhebat yang bisa
merangkai kalimat-kalimat menjadi sebuah cerita yang menarik yang dijadikan
novel-novel best seller yang berhasil memuat banyak ditoko buku terdekat. Aku juga
bukan para filsafat cinta yang mampu memposisikan cinta dimana seharusnya ia
tinggal. Aku hanya bibit baru yang mencoba bercerita diatas lembaran kenangan
bersamamu.
Aku masih terjaga di depan
monitorku. Mencari hal baru yang belum aku ketahui tentang kamu-stalking akun
facebook mu. Tak ku temukan secarik cerita baru dari postinganmu-nothing
change.
Aku
merindukan suasana kelas yang gaduh, dimana teman-teman asik bercerita dan kamu
masih tetap terjaga dibangku depan pojok kanan itu. Mungkin itulah tempat yang
paling nyaman menurutmu, dan aku asiik sendiri memerhatikanmu dari kiri
belakang punggungmu. Tak ku temukan kamu berbalik arah kepadaku. Yah, I know if
you never see me..
Kini aku melewati hari yang
berbeda, kamu menghilang tanpa kabar.
Satu bulan setelahnya, kamu
pergi tanpa berkata pamit. Aku tahu, kepergianmu itu demi kebaikanmu. Tapi apa
salahnya memberitahuku dulu. Kamu menghilang tanpa mengizinkan aku jujur
mengenai perasaanku. Kamu tentu tahu, melupakan sesuatu yang sudah mulai
melekat bukanlah hal yang mudah.
Aku memejamkan mata. Pipiku
basah entah oleh apa. Jangan suruh aku mengaku bahwa ini adalah air mata,
karena kamu tak akan mengerti. Lagi-lagi kamu membuat kacau dimataku.
Mengapa
harus kamu ??
Yang menghadirkan tanda tanya
dan bisu yang menyeringai santai.
Apakah
tidak ada orang lain selain kamu ??
Yang
bisa membuatku jatuh cinta hingga merasakan luka.
Sudah
cukup hujan hari ini !
Berjanjilah padaku !
untuk
tidak lagi menghujani kedua mataku.
karena tlah cukup setiap hari
kau bebani kepalaku dengan rindu